Mimpi
Aku berlari dalam derai hujan mengejar bunga-bunga impian yang gugur dalam tidurku, aku menjelma padang ilalang, aku menjelma bukit kapur dan karang-karang terjal, aku menjelma hutan tanpa pepohonan, aku menjelma telaga kering dan laut tanpa sungai. Kakiku pedih oleh tangisan lumpur yang melecut-lecut hati berkerak. Sekawanan burung gagak terbang di langit menorehkan paruh mereka pada wajah matahari, berdarah-darah ia penuh luka dan ratapnya menggapai-gapai angin. Aku berlari kepada angin dan menjelma jadi seorang bocah yang berdiri di puncak menara kepedihan, menangisi luka-luka matahari yang pedih menetes-netes membasahi tanganku dengan warna darah. Dari dalam diriku terdengar lagu sendu menyanyikan rintihan padang ilalang, tangisan bukit kapur dan jeritan hutan yang alpa pepohonan. Matahari terus mengucur darah oleh tajamnya cakaran burung gagak membasahi gaun mimpi, melukis hari dengan pedihnya luka-luka. Dan aku berdiri di sana, buta meraba-raba tanpa daya dalam gelapnya mimpi tanpa matahari, hingga seluruh hasrat diri mendorongku untuk meronta dan menjerit…
“Bangun… Miyako, ayo bangunlah” bisik Odori lembut di telinga Miyako. Miyako mendesah perlahan dan membuka matanya yang terasa sangat berat.
“Ah Odori, untung kau membangunkan aku, aku mimpi buruk sekali, tapi…oahhhem…aku masih mengantuk” Miyako membalik bantalnya dan memutar badannya membelakangi Odori lalu menekuk badannya menghadap ke dinding, ia kembali bergelung di pojok sambil memeluk gulingnya.
“Ah dasar kau monyet pemalas” seru Odori sambil tertawa, tapi dibiarkannya Miyako bergelung kembali di atas pembaringannya yang empuk.
***
Mata ibu membuat hujan gerimis dalam hatiku, sendu oleh cadar kabut. Pohon angsana, kuning warna bunganya membunyikan hujan, begitu dalam getarannya seperti mimpi yang menjadi nyata, begitu dalam getarannya membawaku pergi.
Aku berjalan ke dalam hutan, kakiku basah rerumputan, wajahku basah dedaunan, sendu oleh cadar kabut, bergetar-getar dalam nadiku. Kudengar iring-iringan musik di sana, bunyi celempung dan rebana bergaung bercelung-celung dalam bayang titik-titik air. Sosok tanpa wajah berjalan seperti mimpi membawa desah kematian; rumput-rumput rebah, pohon-pohon tumbang, daun-daun luruh ke tanah basah oleh merahnya darah dan ketakutan merajam hatiku buyarkan lamunan pasir kerikil dan tajamnya perdu yang pedih di kaki. Aku berlari, berlari seperti mimpi, seperti mimpi rindukan mata ibu yang membuat hujan gerimis dalam hatiku. Aku terus berlari, berlari sampai teduh mata ibu membawaku kembali pulang. Di depan gerbang rumah ibu aku mengetuk…
“Ayolah Miyako, matahari sudah setinggi galah dan kau masih saja bermalas-malasan” teriak Odori dari ruang makan, tapi mata Miyako masih terpejam, dan kelopak matanya sesekali bergerak-gerak mengikuti irama mimpinya.
***
Aku berdiri di ujung pelangi menatap bunga-bunga cahaya, batin putih tergetar oleh pendar warna sungguh eloknya, janji kebebasan, kekuatan hasrat, ekspresi mimpi, terbang bersama butiran embun menyentuh langit, busur cahaya melampaui gunung paling tinggi menembus samudra raya. Terbang bebas, bebas bersama butiran embun dan hamparan rumput di ujung kaki begitu permainya, bunga cahaya kilau berkilau sungguh indahnya. Membuat hatiku tersenyum membiarkan diri terbalut cahaya dan kebajikan tumbuh bersemi dalam jiwaku yang putih. Dan kabut putih mengambang, melayang memenuhi udara, memenuhi langit, menyelimuti tubuhku dan membawaku pergi membuka gerbang-gerbang nirwana…
“Hmmm…anak itu sungguh keterlaluan, sudah jam segini masih juga tidur, sungguh mengherankan, tidak biasanya ia jadi begini malas!” Odori membatin ”Apa ia mau tidur saja seharian?” ditengoknya Miyako yang masih bergelung di atas tempat tidurnya. Wajah anak itu terlihat begitu tenang seperti permukaan danau yang senyap. Dan entah mengapa batin Odori tergetar melihat ketenangan wajah Miyako, tak sampai hatinya mengusik ketenangan wajah itu, wajah yang sedikit pucat, namun Miyako tampak demikian cantik dalam lelap tidurnya, dan seolah wajah itu memancarkan aura cahaya yang menyimpan seribu misteri.
***
Aku seperti baru terjaga, dan buru-buru kubuka pintu kamarku, tapi tak kutemui Odori, hanya ada seorang gadis, gadis dengan kerudung hijau lumut menutupi kepalanya, gadis itu berjalan ke beranda menyibakkan tabir rembulan, dan sekilas tampak wajahnya kilau permata bibir ranum buah delima merah cahaya. Sinar rembulan menitik menyiram tubuh rupawan mandi rembulan. Dada putih itu, dada putih angsa jelita, gemulai bulu-bulu sutra gerak lampai menari turun menari ke tepi kolam, berkilau air tenang bunga teratai melambai. Kuntum-kuntum berseri kelopak bunga merekah dalam rangkuman pawana. Sang gadis bercermin dalam air bening jernih, seulas senyum mengembang dari bibir rupawan mengagumi keelokan diri sendiri. Dan rembulan menitik, terus menitik jadi hujan mengusik keheningan kolam buyarkan lamunan di balik mimpi itik buruk rupa yang ingin menjelma jadi angsa jelita. Dan tangan-tangan misteri terulur dari permukaan kolam yang beriak, menarik tubuh gadis itu perlahan masuk ke dalam kolam yang dingin…
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, hangat sinar matahari semburat menerobos kisi-kisi jendela, Odori semakin resah karena Miyako belum juga terjaga dari tidurnya, dan Odori pun menghampiri tepi pembaringan dan menatap wajah Miyako dalam-dalam, wajah adik kecilnya yang cantik. Miyako yang selalu manis dan baik hati, Miyako yang selalu membuatnya merasa iri dengan segala kelebihannya. Wajah itu tampak begitu tenang begitu damai seolah tiada satu noda pun dapat mencemarinya, dan ia merasa berdosa harus mengusik mimpinya, tapi sudah lebih 17 jam adiknya pulas tertidur, dan itu bukanlah suatu hal yang wajar. Odori menjadi gelisah tapi ia tak tahu apa yang harus dilakukannya karena itu ia duduk saja di tepi pembaringan sambil menatap wajah Miyako yang menyunggingkan senyum lembutnya nan cantik.
***
Sebuah pintu tiba-tiba terbuka dan di depanku terhampar sebuah panorama yang teramat indah, taman-taman bunga, hamparan pasir putih dan bebatuan, danau yang kemilau, bukit-bukit hijau, gemercik air sungai mengalir dari arah lembah dan gunung-gunung di kejauhan. Di tengah taman yang mempesona itu duduklah seorang gadis yang amat elok parasnya. Ia adalah sang penafsir mimpi, berkelebatnya peristiwa di luar realitas sehari-hari. Ia adalah penterjemah gerak kupu-kupu, lambaian bunga embun dan rumput hujan di padang, di mana angin luruhkan dedaunan. Keheningan adalah bahasa ibunya, kesenyapan adalah isyarat kehadirannya. Ia berenang bersama samudra ikan, dan terbang tinggi mengiringi awan berarak.
Matahari adalah bapaknya, bulan adalah ibunya, dan bumi adalah tempatnya bermain. aku dapat melihatnya sedang mengenakan gaun dari tetesan air hujan, dan hamparan salju menjadi mantel kebesarannya. Oleh karena gembira hatinya, maka ia sematkan bunga musim semi sebagai penghias rambutnya, dan ranum pipinya tampak semakin berseri dalam warna merah muda.
Dialah pemilik semua petunjuk, segala silang pendapat yang telah lewat, kepastian yang sejenak berhenti, atau pun keraguan yang berlari bersama angin ke tempat yang jauh. Ia berdetak bersama jantung kehidupan. Jejak langkahnya adalah derap kaki kuda yang tertera di pasir putih, sedang air matanya adalah kesejukan di mana segala luka disembuhkan, dan ia tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku seolah mengajakku bermain, aku tak pernah merasakan kebahagiaan seperti saat ini …
Miyako tersenyum dalam tidurnya seolah rangkaian peristiwa demi peristiwa itu telah menjadi demikian jelas dalam mimpinya, dan ia pun berlari mengejar sang penafsir mimpi seperti segala sesuatunya menjadi begitu nyata, seolah mimpi itu telah menjadi hidup dalam dirinya, dan membawanya masuk semakin jauh ke dalam dunia yang selama ini tak pernah ia kenal sebelumnya. Tanpa Miyako sadari tubuhnya perlahan terbungkus oleh selimut kabut yang kian lama kian menebal dan membuatnya makin jauh tersesat dalam labirin mimpi hingga ia tak dapat lagi menemukan jalan untuk kembali.
April 2004
Catatan:
- Nama Miyako dan Odori saya comot begitu saja tanpa ada maksud tertentu dari ‘Miyako Odori’ sebuah nama tarian musim semi untuk memperingati kepindahan ibukota Jepang dari Kyoto ke Tokyo tahun 1872
Pendakian Terakhir
Kutatap wajahmu dalam foto yang tak pernah lepas dari dompetku, foto yang kian lusuh terlipat kepedihan, waktu yang menyimpan bening matamu seperti mengguratkan puisi pada hari-hari yang melaju begitu kencang ke penghujung usiamu. Sedang kau masih saja menyimpan misteri di balik senyummu yang guratkan kesedihan, kesedihan benarkah? Bukankah masih kau ingat perjalanan kita menyusuri lereng Lawu, Semeru dan Pangrango? dan percakapan senyap yang senantiasa mewarnai kerinduan hati kita mengoyak malam buta dan dinginnya embun yang menggigilkan daun-daun cemara.
Tentu saja Pram, masih kuingat setiap detail percakapan kita, detail yang membuat perasaan itu mengeras seperti kristal embun yang bening bergulir dari ujung rerumputan dan jatuh ke tanah tempat berseminya semua benih yang engkau taburkan. “Apakah kau sudah capai Lan? Biar kubawa ranselmu…aku masih bisa membawanya kalau kau lelah…mungkin kau mau kita istirahat dulu di sini?” dan bening embun itu begitu teduh membuatku kian terlena, aku ingin berlama-lama berenang di dalamnya, jangan buat aku terjaga Tuhan, kumohon jangan!
Ah Pram, kau begitu penuh perhatian, selalu…tak hirau bebanmu sendiri sedang aku sibuk menata hatiku dari butir-butir keringat yang tak henti mengucur. Dan kita terus saja berjalan, mengarungi pasir Parang Tritis, batu-batu kerikil di Tanah Lot, dan merendam kaki di Danau Toba. Oh Pram tahukah kau, sebenarnya aku ingin kita bisa berjalan lebih jauh lagi, sejauh keinginanku merekam semua peristiwa yang sanggup menyimpan kesenduan musim, menuai potret cuaca yang kadang terik kadang hujan dan juga memetik kilau senja yang tak akan pernah kulupa. Dalam ranselku masih juga kusimpan sketsa-sketsa perjalanan kita, juga larik-larik puisimu yang tak hentinya menggugat pertalian takdir, dan foto hitam putih yang kian kabur menyisakan setitik harap dan tentu saja goresan kontemu yang selalu membuatku terharu. Tapi tak kujumpai kau di sana Pram, cuma tinggal foto lusuh ini saja yang masih simpan kepedihanmu. Sekalipun kau tersenyum dalam foto itu, sekalipun matamu masih cemerlang seperti bintang-bintang di surga, tapi semua kilasan itu tak mampu mengusir gundahku. Ah kenapa tak ada foto kita berdua? kenapa hanya ada gambar diriku melulu… sedang kau jauh sembunyi, ataukah karena aku tak bisa menggambar sepertimu, juga karena kau tak pernah mau kuabadikan, “Nggaklah Lan, aku kan jelek…ntar fotonya nggak jadi!”
Kau tertawa, tak kusangka tawa itu jadi terasa begitu pedih sekarang. Sungguh aku kecewa Pram, padahal kau begitu tampan dengan syal abu-abu itu, jaket jeansmu yang belel dan lakenmu yang kumal selalu menyimpan pesonanya sendiri. Semua yang tak dapat kulupa mengapa jadi terasa begitu pedih? semua hanya hidup dalam ingatan yang rapuh. Dan renungku mengapung ke dalam belantara Cemoro Sewu, tanah lembab yang menyimpan seribu gundahmu, seorang kekasih di kedalaman rimba …oho cinta yang purba, perjalananmu yang terakhir…. Apakah harus aku percaya kata orang-orang tua agar kita tak pernah mampir ke Telogo Wurung? agar semua berjalan seperti yang kita inginkan, agar pertalian takdir kita tak kandas di tengah jalan.
Ah Pram, seandainya saja bisa kurekam semua peristiwa…seandainya saja kugenggam sang waktu, Biarlah semua berjalan mundur, berjalan seperti kita tak pernah berhenti, mungkin kita masih akan sempat mengarungi Atlantik, menjelajah Sahara atau mendaki Everest, mungkin saja…mungkin takdir akan berjalan ke arah yang berbeda bila saja aku bukan Mei Lan dan kau bukan Pramudji, bila aku bukan Cina dan kau bukan Jawa, aku bukan Budhis dan kau bukan Muslim, dan sederet pertentangan lain diantara kita, tapi bukankah cinta tak pernah membelenggu seperti katamu? Aku jadi teringat puisimu Pram, bagaimana aku akan melupakannya?
Jangan tinggal tanya, Gabak hati gabaklah mata ada sangsi di diri ada tanya di benak akankah aku menjadi kafir karena menggugat takdir?
Ah Pram, sudah sejauh itukah perasaanmu padaku, sedang debar-debar haru itu masih membuatku tergugu, sedang kau pun tak sungguh-sungguh berani menggenggam tanganku, padahal aku selalu menunggu. Cintamu begitu murnikah? Ataukah itu merupakan sebuah pertanda darimu seperti yang penah kau nyatakan bahwa aku tak lebih dari boneka kristal yang begitu rentan… oh Pram, benarkah? ataukah kau masih ragu dengan degup rasa di dadamu sendiri? tak bisakah kau membuatnya mengalir seperti aliran tintamu, atau mungkin juga dalam bait-bait puisimu yang lain?
Ada jurang di antara kita, tidak juga cinta menjembataninya, baiklah kita terjun saja dan mati bersatu di dasarnya!
Apakah engkau bersunguh-sungguh Pram? Apakah engkau akan membawaku tenggelam ke tengah heningnya Telaga Sarangan? Ataukah kau ingin mengajakku mati bersatu di dasar jurangmu? sedang setiap perhentian seperti bayangan kabur, aku berdiri sendiri di tepi sini di tubir waktu yang menggigil sedang engkau dalam balutan kabut di tepian yang lain, sekian jarak diantara kita tanpa satu pun jalan penghubung. Benarkah Pram, akan kau jemput aku di dasar lembah, atau barangkali tak pernah ada titik pertemuan itu sehingga kita mesti mati sendiri-sendiri sebagai satu-satunya pilihan kita yang terakhir?
Oh Pram, engkau membuatku takut tapi sungguhkah semua rasamu jadi begitu naif seperti tertulis dalam puisimu terakhir? sedang semua perjalanan kita masih juga menyisakan sekian banyak tanda tanya, sedang aku masih terbuai oleh seluruh bujuk rayumu, menafsiri arti seluruh tatap matamu sebagai sebuah ungkapan cinta, sedang ternyata hatiku sia-sia menanti? Oh Pram jujurlah padaku, apakah kerinduanmu padaku hanya serupa pohon-pohon ranggas, kayu-kayu lapuk, tanah-tanah rengkah sepanjang Surakarta – Wonogiri, yang kita lewati menjelang kemarau tempo hari? Debu yang sesakkan batinmu, bukankah masih ada adikmu di sana menunggu kita membawakan oleh-oleh, sekotak gundu, dan sepasang layang-layang, juga emakmu simpan kerinduan yang sama dari basahnya kain jarik yang merebak di pagi dini hari, sepanjang perjalanan turun ke belik, mandi angin basah yang sebarkan aroma sabun murah, hingga siang menjelang di alun-alun depan SD Pangkah tempat bocah-bocah cilik bertempik sorak kibaskan debu angin kering yang hembuskan wangi daun jati. Di situ Pram, saat senja merona angin riapkan rambutku dan di beranda di belakang rumahmu kau masih sempat membisikkan kata-kata yang tak akan pernah kulupa, “Lan..aku cinta padamu!”
Tapi Pram apalah arti cinta bagi kita sedang Ibumu masih saja menyimpan kemarahan di matanya dan bahkan Bapakmu engan pula menyapa, hanya karena aku Cina? Pram jawablah…mengapa kau tak punya kata-kata? Seucap saja untuk membasuh pedihku, sedang kuturut engkau untuk menabur kesia-siaan jauh hingga batas perjalanan ke desamu yang gagu dan yang kutemui hanyalah tunggul-tunggul pisang yang kering melepuh, bunga-bunga tebu meranggas, dan batu-batu tajam menampar hatiku. Apa yang harus kulakukan Pram dalam kesesakan semacam itu? bukankah aku cuma seorang gadis yang ingin di cintai? bukan sebagai siapa-siapa selain sebagai diriku sendiri, dengan mata sipitku, dengan kulit kuningku dan mungkin juga dengan suara cadelku di telingamu. Apakah aku terlalu berlebihan Pram? Bukankah aku adalah Mei Lan yang selama ini engkau kenal?
Sedang aku akan mati-matian mempertahankan engkau dihadapan Papa sekalipun mungkin ia segarang harimau, juga dari tikam tajam mata Mama sekalipun tatapnya setajam sembilu di hatimu, apa pun yang bakal terjadi aku akan membuat mereka mengerti bahwa engkaulah Pram-ku, kekasih hatiku seorang. Seandainya saja…ya seandainya saja engkau berani Pram, tapi engkau keburu pergi dengan sangsimu, dengan sepimu, dengan segala pedih dan kekecewaan di matamu seolah tiada lagi yang harus kita perjuangkan, seolah Lawu lebih berarti bagimu daripada cintaku padamu, seolah semua perjalanan yang telah kita tempuh itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Kenapa Pram? kenapa kau pergi begitu saja? seperti kau lupa mengajakku tenggelam, seperti kau lupa mengajakku terjun ke dalam jurang kekelaman, mengapa kau memilih pergi sendiri? Oh Pram, haruskah aku menangis, ataukah mesti bersyukur? karena rupanya takdir telah mengalahkan kita, mengalahkan cinta kita, bila memang ada cinta di antara kita.
Oh Pram kemana lagi aku mesti bertanya sedang kau masih menyimpan semua misteri itu sendiri dalam kepedihan senyummu, tinggal ini satu-satunya yang tersisa dari dirimu sebuah foto wajahmu yang akan segera usang, sedang hatiku demikian rapuh digerogoti sepi. Sesepi itukah engkau di situ dalam pembaringanmu yang gelap? Apakah engkau masih memikirkan diriku seperti aku tak henti merindukanmu? Oh Pram, kenapa mesti seperti ini? Kenapa harus kau akhiri hidup seperti ini.?
***
Langit semburat merah, senja memagut kelam sebentar lagi. Mei Hwa dengan lembut menarik tubuh kakaknya yang terbaring di tanah memeluk makam Pramudji kekasihnya yang meninggal oleh kecelakaan dalam pendakiannya yang terakhir di lereng Lawu. Mereka berjalan perlahan pergi meninggalkan komplek pemakaman yang sebentar kemudian telah menjadi gelap.
Kuningan, Mei 2004
0 Comments:
Post a Comment
<< Home